Ilmu bukanlah setetes embun yang jatuh tanpa usaha, melainkan mutiara yang tersembunyi di dasar samudra kesabaran. Para ulama, mereka adalah para penyelam ulung yang mempertaruhkan segala untuk meraihnya.
Mujahadah mereka dalam menuntut ilmu bukanlah sekadar rajin membaca, melainkan sebuah aktus spiritual, sebuah perjanjian suci antara jiwa yang haus dan kebenaran yang agung.
Mereka memahami bahwa akal tanpa jiwa adalah lentera tanpa minyak, dan jiwa tanpa ilmu adalah kompas yang buta.
Inilah filsafat sejati dari ilmu: ia menuntut pengorbanan terbesar agar pemiliknya dapat berdiri sebagai saksi kebenaran, bukan sekadar penumpuk data.
Ilmu adalah tirani yang menuntut seluruh waktu dan pengorbananmu. Namun, balasan tirani itu adalah kemerdekaan jiwa yang abadi.
Epos Pengorbanan: Kisah Para Pelita Umat
Bayangkan sejenak panggung sejarah di mana para ulama menorehkan epik mujahadah mereka:
Tidur yang Diperangi: Mereka adalah ahli zuhud di hadapan bantal. Malam-malam yang dingin bukan dipakai untuk merebahkan diri, melainkan untuk menegakkan punggung, ditemani seberkas cahaya pelita yang nyaris padam.
Tidur mereka adalah musuh terbesar, sebab setiap detik terbuang berarti satu gerbang ilmu tertutup. Diceritakan, sebagian ulama meletakkan tangan di air dingin agar tidak tertidur saat mengulang pelajaran.
Harta yang Dikorbankan: Demi sebuah sanad yang terpercaya atau sebuah kitab yang langka, mereka rela menjual harta satu-satunya, bahkan terkadang hanya dengan roti kering sebagai bekal perjalanan ribuan mil.
Mereka memahami bahwa nilai ilmu jauh melampaui nilai dinar dan dirham.
Jarak yang Didefinisikan Ulang: Mereka menjadikan perjalanan sebagai bagian dari ibadah.
Mereka melintasi gurun yang panas membakar dan lautan yang ganas, bukan mencari kekayaan, melainkan mencari satu kata, satu lafazh dari seorang guru yang memiliki keutamaan. Kaki mereka adalah saksi bisu dari kesetiaan pada janji ilmu.
Mereka tidak hanya belajar; mereka hidup dalam ilmu. Mereka tidak hanya menghafal; mereka menjelma menjadi ilmu.
Cermin Refleksi: Warisan Mujahadah
Hari ini, di era kemudahan digital, mujahadah kita harus berwujud lain. Ia tidak lagi tentang mencari cahaya pelita, melainkan tentang mengalahkan gemuruh distraksi modern.
Warisan mujahadah para ulama mengajarkan kita:
Prioritas Sejati: Menjadikan ilmu sebagai nafas utama, mengatasi godaan media sosial dan kesenangan fana yang mencuri waktu berharga.
Kemandirian Jiwa: Belajar bukan hanya karena tugas, melainkan karena panggilan spiritual untuk menjadi pribadi yang lebih bijaksana.
Adab dan Kesabaran: Menghormati proses belajar, menghormati guru, dan bersabar dalam menghadapi kesulitan memahami, sebab kesulitan adalah filter yang memisahkan pemburu ilmu sejati dari yang sekadar penasaran.
Marilah kita jadikan kisah-kisah gigih ini sebagai cambuk penyemangat, agar kita tidak menjadi generasi yang terlena oleh kemudahan dan tertinggal dari kedalaman yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita.
------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar :
Posting Komentar