Pertanyaan:
Apa sebenarnya arti kata tasawuf hakikat dan hukumnya menurut Islam?
Apa sebenarnya arti kata tasawuf hakikat dan hukumnya menurut Islam?
Apakah benar di antara orang-orang ahli tasawuf ada yang tersesat dan menyimpang?
Jawab:
Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.
Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.
Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia ada aliran yang bernama Mani'; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta penggunaan akal.
Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera ditegur.
Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka, sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta meninggalkan istri dan kewajibannya. Lalu Nabi saw. menegurnya dengan sabdanya:
"Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya."
Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar biasa. Mereka (para istri Rasulullah) menjawab, "Kami amat jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang belum dilakukannya."
Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, "Aku akan beribadat sepanjang malam." Sedang yang lainnya mengatakan, "Aku tidak akan menikah." Kemudian hal itu sampai terdengar oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan mereka.
Sabda beliau:
"Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku."
Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati setiap bagian dalam hidup ini.
Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.
Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan Islam).
Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja.
Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari kaum sufi.
Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya.
Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan mempraktekkan teori di luar Islam, ini yang dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka.
Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur'an; dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang menulis sebuah buku yang berjudul: "Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin," yang artinya "Tangga bagi Perjalanan Menuju ke Tempat Tujuan."
Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak, sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat Al-Fatihah, "Iyyaaka na'budu waiyyaaka nastaiin."
Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam.
Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan jiwa ke tingkat yang murni.
Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.
TASAWUF DIANTARA PEMUJI DAN PENGELAK
Pertanyaan:
Kapan lahir dan berkembangnya ilmu tasawuf, dan apapula keistimewaanya?
Apa alasan orang-orang yang menolaknya dan bagaimanadalilnya bagi orang-orang yang memujinya?
Jawab:
Dengan penjelasan yang lebih luas ini, sekiranya dapat membuka tabir yang menyelimuti bagian yang cerah ini, sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah itu, misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah.
Di zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.
Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal, perkembangan jiwa dan jasmani, mendapat perhatian pula.
Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan baru yang dihadapinya adalah akibat pengaruh yang ditimbulkan dari dalam dan luar. Dan juga adanya bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.
Dalam hal ini, terdapat orang-orang yang perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau hukum-hukumnya saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula orang-orang yang perhatiannya pada materi dan foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
Maka, pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja, terutama pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk mendapatkan keridhaan Allah dan keselamatan dari kemurkaan-Nya.
Demi tercapainya tujuan tersebut, maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan mengurangi hawa nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada Allah.
Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut:
"Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat besar kepada Allah ..." (Q.s. Al-Baqarah: 165).
"... Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ..." (Q.s. Al-Maidah: 54). "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur (tidak tercerai-berai) ..." (Q.s. Ash-Shaff: 4).
"... dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu (kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia ..." (Q.s. Al-Qashash: 77).
Wallaahu A'lam.
Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta penggunaan akal.
Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera ditegur.
Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka, sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta meninggalkan istri dan kewajibannya. Lalu Nabi saw. menegurnya dengan sabdanya:
"Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya."
Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar biasa. Mereka (para istri Rasulullah) menjawab, "Kami amat jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang belum dilakukannya."
Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, "Aku akan beribadat sepanjang malam." Sedang yang lainnya mengatakan, "Aku tidak akan menikah." Kemudian hal itu sampai terdengar oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan mereka.
Sabda beliau:
"Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku."
Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati setiap bagian dalam hidup ini.
Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.
Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan Islam).
Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja.
Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari kaum sufi.
Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya.
Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan mempraktekkan teori di luar Islam, ini yang dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka.
Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur'an; dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang menulis sebuah buku yang berjudul: "Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin," yang artinya "Tangga bagi Perjalanan Menuju ke Tempat Tujuan."
Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak, sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat Al-Fatihah, "Iyyaaka na'budu waiyyaaka nastaiin."
Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam.
Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan jiwa ke tingkat yang murni.
Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.
TASAWUF DIANTARA PEMUJI DAN PENGELAK
Pertanyaan:
Kapan lahir dan berkembangnya ilmu tasawuf, dan apapula keistimewaanya?
Apa alasan orang-orang yang menolaknya dan bagaimanadalilnya bagi orang-orang yang memujinya?
Jawab:
Masalah tasawuf ini pernah dibahas, tetapi ada baiknya untuk diulang
kembali, sebab masalah ini amat penting untuk menyatakan suatu
hakikat dan kebenaran yang hilang di antara orang-orang yang mencela
dan memuji tasawuf tersebut secara menyeluruh.
Dengan penjelasan yang lebih luas ini, sekiranya dapat membuka tabir yang menyelimuti bagian yang cerah ini, sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah itu, misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah.
Di zaman para sahabat Nabi saw, kaum Muslimin serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.
Tiada satu bagian pun yang tidak dipelajari dan dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan masalah yang ada hubungannya dengan penggunaan akal, perkembangan jiwa dan jasmani, mendapat perhatian pula.
Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan baru yang dihadapinya adalah akibat pengaruh yang ditimbulkan dari dalam dan luar. Dan juga adanya bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.
Dalam hal ini, terdapat orang-orang yang perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau hukum-hukumnya saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula orang-orang yang perhatiannya pada materi dan foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.
Maka, pada saat itu, timbullah orang-orang sufi yang perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja, terutama pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk mendapatkan keridhaan Allah dan keselamatan dari kemurkaan-Nya.
Demi tercapainya tujuan tersebut, maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan mengurangi hawa nafsu. Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada Allah.
Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada Allah
(mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi'ah Al-Adawiyah, Abu Yazid
Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah tokoh-tokoh sufi.
Mereka berpendapat sebagai berikut:
"Bahwa
ketaatan dan kewajiban bukan karena takut pada neraka, dan bukan
keinginan akan surga dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada
Allah dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat dengan-Nya."
Dalam syairnya, Siti Rabi'ah Al-Adawiyah telah berkata:
"Semua orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin
menikmati surga. Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena
aku cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya."
Kemudian
pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan akhlak dan
latihan jiwa, berubah menjadi paham-paham baru atas Islam yang
menyimpang, yaitu filsafat; dan yang paling menonjol ialah Al-Ghaulu
bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham bersatunya hamba dengan Allah).
Paham
ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang tokoh sufi, sehingga
dihukum mati tahun 309 H. karena ia berkata, "Saya adalah Tuhan."
Paham
Hulul berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya, sama dengan
paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih. Banyak di kalangan para
sufi sendiri yang menolak paham Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang
menyebabkan kemarahan para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada
umumnya.
Filsafat
ini sangat berbahaya, karena dapat menghilangkan rasa tanggung jawab
dan beranggapan bahwa semua manusia sama, baik yang jahat maupun
yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak, semua makhluk menjadi
tempat bagi Tajalli (kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah.
Dalam
keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi yang bermacam-macam,
ada yang menilai masalah tasawuf tersebut secara amat fanatik
dengan memuji mereka dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali.
Ada pula yang mencelanya, menganggap semua ajaran mereka tidak benar,
dan beranggapan aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi, agama
Budha, dan lain-lainnya.
Secara obyektif bahwa tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut:
"Tasawuf
ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat
diingkari dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an,
Sunnah Rasul saw. dan para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud
(tidak mau atau menjauhi hubudunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana
sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda', Salman Al-Farisi, Abu
Dzar r.a. dan lainnya."
Banyak
ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang
berupa kesenangan atau fitnah dunia. Tetapi hendaknya selalu
bergerak menuju ke jalan yang diridhai oleh Allah swt. dan
berlomba-lomba memohon ampunan Allah swt, surga-Nya dan takutlah akan
azab neraka.
Dalam
Al-Qur,an dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan mengenai cinta
Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur,an:
"Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat besar kepada Allah ..." (Q.s. Al-Baqarah: 165).
"... Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ..." (Q.s. Al-Maidah: 54). "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur (tidak tercerai-berai) ..." (Q.s. Ash-Shaff: 4).
Diterangkan
pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai masalah zuhud, tawakal,
tobat, syukur, sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan
lain-lainnya dari maqam-maqam yang suci dalam agama.
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi.
Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah swt. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: "Ilmu tasawuf itu, kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan, setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah menyatakan:
Tidak ada golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi.
Merekalah yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit jiwa, sifat-sifatnya dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.
Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah swt. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: "Ilmu tasawuf itu, kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan, setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani.
Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini, timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."
Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut:
- Dijadikannya wijid (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan ukuran untuk membedakan antara yang benar dan salah. Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku diberi tahu oleh hati dari Tuhanku (Allah)." Berbeda dengan ungkapan dari ahli sunnah bahwa apabila mereka meriwayatkan ini dari si Fulan, si Fulan sampai kepada Rasulullah saw.
- Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum Islam dan yang bebas dari hukumnya.
- Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat mempengaruhi iman dan akidah mereka, dimana manusia mutlak dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi melawan dan selalu bersikap pasif, tidak aktif.
Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah menyatakan:
"... dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu (kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia ..." (Q.s. Al-Qashash: 77).
Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan dipraktekkan
dimana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian dari
Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian, terutama dari
golongan intelektual, keduanya belum mengerti benar akan hal itu karena
tidak mempelajarinya.
Sekali
lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu menyuruh jangan
sampai menyimpang dari garis syariat dan hukum-hukumnya.
Ibnul
Qayyim berkata mengenai keterangan dari tokoh-tokoh sufi,
"Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin Muhammad (297
H.), berkata, 'Semua jalan tertutup bagi manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.'"
Al-Junaid pun berkata:
"Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur'an dan menulis hadis-hadis Nabi
saw. maka tidak boleh dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita
(tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur'an dan As-Sunnah."
Abu Khafs berkata:
"Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala sesuatu dengan
timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta tidak menuduh perasaannya (tidak
membenarkan wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk golongan kaum
tasawuf."
Abu Yazid Al-Basthami berkata:
"Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan kekuatan-kekuatan yang
luar biasa, tetapi yang harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan
seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya."
Kiranya
keterangan yang paling tepat mengenai tasawuf dan para sufi
adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam
menjawab atas pertanyaan, "Bagaimana pandangan ahli agama mengenai
tasawuf?"
Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut,
"Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua, yaitu:Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid'ah dan di luar Sunnah Nabi saw.
Sebagian
lagi terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan pujian dan menganggap
mereka paling baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi saw.
Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah bahwa mereka ini sedang dalam
usaha melakukan pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha orang-orang
lain untuk menaati Allah swt.
Dalam
kondisi yang prima di antara mereka, ada yang cepat sampai dan dekat
kepada Allah, orang-orang ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang
yang terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya; ada pula yang
intensitas ketaatannya sedang-sedang saja. Orang ini termasuk bagian
kanan: Min ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara kedua
sikap tadi)."
Di
antara golongan itu ada yang salah, ada yang berdosa, melakukan
tobat, ada pula yang tetap tidak bertobat. Yang lebih sesat lagi
adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan, tetapi
menganggap dirinya orang-orang sufi.
Masih
banyak lagi dari ahli bid'ah dan golongan fasik yang menganggap
dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan tidak diakui oleh
tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal. Sebagaimana Al-Junaid dan
lain-lainnya.
Wallaahu A'lam.
mhon izin copy paste
BalasHapusmhon izin copy paste
BalasHapusSilahkan sobat
BalasHapus