Merdeka bukan sekadar terlepas dari rantai yang kasat mata, tapi juga terbebas dari penjara tak bersuara yang kita bangun di relung jiwa.
Ada kemerdekaan yang dirasa di setiap napas.
Saat emosi tak lagi menjadi badai yang menenggelamkan, saat sedih, takut, dan rindu hanyalah tamu yang singgah— mereka datang, tersenyum, lalu pergi, meninggalkan ruang hening di mana kita tetap berlayar tanpa harus karam.
Ada kemerdekaan dalam keberadaan yang seapa adanya. Saat tak lagi perlu mengukir nama di langit mata orang lain.
Saat tak harus menjadi cermin bagi ekspektasi dunia. Kita hadir, seutuhnya, dengan segala retak dan kilau, karena hanya keberadaan yang seapa adanya sudah merupakan keajaiban yang tak perlu pembuktian.
Ada kemerdekaan di setiap langkah perjalanan. Saat rela sang diri menjadi sungai yang terus mengalir, tak lagi terperangkap di muara masa lalu atau bayangan yang membeku.
Jatuh, bangkit, lalu jatuh lagi, karena di setiap luka ada pelajaran, di setiap akhir ada awal baru, dan berserah pada irama perubahan yang tak pernah berhenti.
Dan di atas segalanya, ada kemerdekaan yang paling hening, saat disadari bahwa kita lebih luas dari setiap perasaan dan citra diri.
Kita bukan hanya cerita yang sudah terjadi, bukan pula bayangan yang ingin digapai. Kita adalah cermin yang tak menolak atau menggenggam, hanya menyaksikan semua yang datang dan pergi.
Maka, kemerdekaan paling hakiki tak pernah jauh, ia ada saat hati tak lagi tawanan, saat eksistensi tak menuntut pengakuan, saat hidup adalah tarian yang abadi, dan saat kesadaran menjadi samudra yang cukup menampung segalanya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar