Di antara desau angin yang melintas senja, dan gemuruh fajar yang merobek kelam, terhampar permadani waktu yang tak berujung. Ia bukan sekadar rentetan detik dan menit yang berlalu, melainkan kanvas luas tempat setiap napas mengukir jejak, setiap pandangan menoreh makna. Dalam keheningan malam yang gulita, atau riuhnya siang yang bergelora, jiwa seringkali terdorong untuk menyelami samudra bernama muhasabah waktu.
Kita berdiri di persimpangan. Di satu sisi, siluet masa lalu melambai, penuh dengan tawa yang memudar, air mata yang mengering, dan janji yang mungkin terabaikan. Di sisi lain, cakrawala masa depan membentang, samar namun memanggil, dengan harapan dan impian yang belum terwujud. Di antara keduanya, saat ini—sebuah anugerah yang seringkali luput dari genggaman, terbuang dalam kesibukan yang semu, atau terlarut dalam lamunan yang tiada berujung.
Pernahkah kita berhenti sejenak, di tengah hiruk pikuk dunia, untuk bertanya pada diri sendiri: Ke mana waktu ini mengalir? Apakah setiap tetesnya telah menjadi benih kebaikan, ataukah ia hanya menguap dalam kesia-siaan? Waktu adalah amanah terindah, sebilah pedang bermata dua yang bisa mengukir kemuliaan atau menoreh sesal.
Setiap detik adalah permata tak ternilai. Bayangkan, betapa banyak senyum yang bisa kita hadirkan, betapa banyak tangan yang bisa kita genggam, betapa banyak ilmu yang bisa kita serap, betapa banyak ibadah yang bisa kita tunaikan dalam satu tarikan napas. Namun, seringkali kita biarkan permata itu jatuh, pecah berderai, tergilas roda waktu yang tak mengenal kompromi.
Muhasabah waktu mengajak kita merenungi setiap jejak langkah. Apakah kita telah memanfaatkan kesempatan yang ada untuk tumbuh, untuk memberi, untuk mencintai? Atau justru kita tersesat dalam labirin penyesalan atas apa yang telah berlalu, atau terjebak dalam kecemasan akan apa yang belum tiba?
Di bawah naungan rembulan yang syahdu, atau mentari yang bersinar terang, mari kita pejamkan mata sejenak. Dengarkanlah bisikan hati yang terdalam. Apakah ia merasa damai karena telah memaksimalkan setiap hembusan napas? Atau adakah kerisauan yang berbisik lirih, mengingatkan akan waktu yang terbuang?
Waktu tak akan pernah berbalik. Ia adalah sungai yang terus mengalir ke muara, tak peduli apakah kita menaburkan bunga di tepiannya atau membiarkannya berlalu begitu saja. Maka, di setiap detik yang berdetak, mari kita tanamkan niat yang tulus, sebarkan kebaikan yang tak terhingga, dan ukir makna yang abadi. Sebab, pada akhirnya, yang tersisa bukanlah berapa banyak waktu yang kita miliki, melainkan bagaimana kita mengisi setiap waktu yang telah dianugerahkan.
Penyuluh Agama Ahli Pertama
KUA Kecamatan Muaradua
Tidak ada komentar :
Posting Komentar